Selain film mengenai korupsi, hari ini kami diperlihatkan
sebuah film karya Rudi Sudjarwo yang diperankan oleh Marcella Zalianti, Piet
Pagau, dan Arifin Putra, mengenai kehidupan rakyat Indonesia yang tinggal di
area perbatasan Indonesia dan Malaysia, di Pulau Kalimantan.
Ide film ini diambil berdasarkan pengalaman yang dialami
sang artis, Marcella Zalianti saat menjadi pembicara di Kalimantan Barat
mengenai kehidupan wanita di perbatasan. Ia akhirnya mencoba untuk menjelajahi
lebih lanjut mengenai keadaan lain yang terjadi disana dan menemukan
fakta-fakta yang kejam dari kehidupan masyarakat suku tersebut. Mereka
merupakan wilayah terdepan dari perbatasan, apa yang terjadi terhadap Negara
kita nantinya, mereka dulu lah yang merasakan. Namun kurangnya perhatian
pemerintah maupun masyarakat kota terhadap orang-orang pedalaman membuat
kawasan mereka menjadi kawasan yang rendah dalam segi pendidikan, sosial, dan
ekonomi. Padahal budaya yang mereka miliki sangatlah kaya dan memiliki
karakteristik yang sangat kuat.
Pada dasarnya film ini dibuat untuk menyadarkan masyarakat
kota mengenai kehidupas asli dan keseharian yang ada pada suku-suku di
Kalimantan. Mereka merupakan populasi dengan tingkat kecerdasan yang tinggi
namun sangat sedikit diberikan pendidikan yang layak. Sulitnya mereka mendapat
pendidikan menjadikan mereka beralih profesi dari yang seharusnya menjadi siswa
pada umurnya, akhirnya menjadi petani, pemburu, dan pekerjaan kasar lainnya. Hidup
mereka disana sudah susah, transportasi harus menggunakan sampan atau kapal
kecil, waktu tempuh antar desa bisa berjam-jam, akses ke kota sangat susah,
dll. Jika kita tidak membantu dan meningkatkan taraf hidup mereka ke depannya,
wilayah Kalimantan barat nantinya akan menjadi seperti daerah Sipadan-Ligitan.
Mereka akan diakui oleh Negara tetangga dan kita akan kehilangan salah satu
karakter, budaya, seni, SDM terbaik bangsa ini.
Setelah film ini ditayangkan, kami berkesempatan bertemu
dengan dua pemain utamanya yaitu Marcella Zalianti dan Piet Pagau. Keduanya
menurut saya merupakan orang-orang yang extraordinary. Mereka cerdas, memiliki
rasa nasionalis yang tinggi, mau berkreasi untuk anak bangsa, memiliki karakter
dan menjaga budaya mereka sendiri, bahkan Bapak Piet Pagau masih bisa berbicara
bahasa Dayak dengan lafal yang sangat baik dan beliau mengatakan bahwa tidak
ada satu kata pun dari bahasa ibunya tersebut yang ia lupa. Beliau bahkan
sempat memberikan atraksi tersendiri dengan menari tarian Dayak di depan kita
semua, luar biasa!
Saya pribadi jujur saja tidak paham mengenai konflik dan
intrik yang terjadi pada suku-suku pedalaman Kalimantan yang katanya ada
sekitar 400 suku. Namun setelah melihat film tersebut, saya paham kenapa
Kalimantan dan saya yakin, pulau-pulau Indonesia lain yang memiliki budaya dan
adat yang beragam harus dipertahankan dan dirawat. Saya merasa minder tidak
memahami sepenuhnya bahasa ibu atau ayah saya, namun saya akan mencoba untuk
memahami dan mungkin menyebarkan sedikit demi sedikit ke dunia mengenai betapa
kaya dan beradatnya Indonesia kita ini.
Menurut salah satu artikel yang ditulis oleh Rista Rama
Dhany yang berjudul Sudah Setahun Masyarakat Perbatasan Kalimantan Sulit
Mendapat Gula, ditulis bahwa "dari tahun ke
tahun kasus impor gula konsumsi dan pangan lainnya di perbatasan, khususnya di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur itu masih menimbulkan konflik dan tidak
ditangani dengan baik oleh kementrian terkait”.
Artikel lain yang dimuat di Kompas adalah “Masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia, lebih menyukai melakukan kegiatan jual-beli dan barter ke wilayah Malaysia karena mudah dijangkau dengan berjalan kaki. Hal ini disampaikan oleh Dewan Adat Dayak Kecamatan Sekayam, Yordanus Pinjamin”.
Kedua artikel ini persis seperti yang dijabarkan pada film Batas.
No comments:
Post a Comment